Follow Us @soratemplates

Wednesday 10 June 2020

Cuma Di Kampung : Hajatan Sebagai Ajang Investasi

Assalamualaikum! Annyeong~


Hallooo~
Kali ini saya mau nulis tentang kebiasaan di kampung saya yang menurut saya agak gimana gitu.

Kabiasaan ini berkaitan dengan kondangan/ondangan atau njagong dalam bahasa jawa yaitu kegiatan menghadari sebuah acara yang utamanya adalah acara pernikahan atau sunatan atau syukuran.

Bagi sebagian orang, ketika diundang ke sebuah acara misalnya pernikahan maka biasanya mereka gak akan datang dengan tangan kosong. Mereka akan memberi hadiah (berupa uang atau barang) sebagai ungkapan turut berbahagia dan juga untuk menambahkan kebahagiaan tuan rumah tanpa mengharap balasan apapun dikemudian hari.

Sementara untuk orang di kampung saya terutama untuk generasi tua, hal tersebut tidak berlaku.
Bukan pada bagian "memberi hadiah"nya... tapi pada bagian "tanpa mengharap balasan".

Masyarakat di kampung saya terbiasa kondangan dengan membawa sejumlah beras dan/ uang dengan harapan pada saat mereka punya hajatan serupa, akan dibalas kondangan dengan sejumlah beras dan uang yang (minimal) sama. 

Jangan salah loh, kondangan dengan beras itu sangat bernilai. Makanya musim hajatan di kampung saya biasanya rame pas musim panen padi. Jumlah beras yang dikondangkan juga bisa mencapai hitungan kwintal. Tergantung seberapa "tajir" dan seberapa dekat hubungan seseorang dengan tuan rumah.

Contohnya, si A mengundang si B keacara pernikahan anaknya si A. Lalu si B kondangan dengan membawa beras 1 kwintal beserta uang Rp. 100.000. Nah dikemudian hari si B juga menikahkan anaknya, maka si A HARUS datang dengan 1 kwintal beras dan uang Rp. 100.000 juga.


BACA JUGA : Cuma Di Kampung: Majengan, Sebuah Tradisi Dalam Bertetangga


Bagaimana jika si B punya 2 orang anak atau lebih ?

Maka 1 kwintal beras dan uang Rp.100.000 tersebut bisa dibagi sejumlah anaknya si B. Tapi ini opsional sih, yang penting Si A harus "mengembalikan" ke si B (minimal) dengan jumlah yang sama. Terserah mau dibayarkan sekaligus atau "dicicil" sejumlah anaknya si B

Jika ingin "dicicil", maka si A akan kondangan ke pernikahan pertama anaknya si B dengan membawa 50 Kg beras dan uang Rp. 50.000. Begitu pula saat si A kondangan ke pernikahan anak kedua si B. Begitu seterusnya. Seperti hutang yang wajib dibayar. Sehingga sangat perlu dibuat adanya dokumentasi berupa database khusus. 

Terdengar sangat transaksional macem bisnis yang kental nuansa untung rugi ya?

Bagaimana database tersebut dibuat ?

Sebelumnya, saya akan sedikit memberi gambaran gimana orang-orang dikampung saya kalo kondangan ya...

Ketika seseorang menghadiri kondangan, orang pertama yang dituju sang tamu diacara tersebut bukanlah tuan rumah tapi pajengan yang bertugas sebagai notulen alias tukang catet beras(1) Tamu akan melaporkan "data kondangannya" (berupa nama, alamat dan jumlah beras yang dibawa) ke tukang catet beras. Kemudian si tukang catet beras mencatatnya disebuah buku besar yang nantinya akan menjadi buku database kondangan. Kalo beras biasanya dibawa pake karung atau ceting (Mirip tempat nasi yang biasa disajikan di rumah makan berkonsep sunda tapi dengan ukuran lebih besar).

Sementara (2) untuk kondangan dalam bentuk uang dalam amplop, akan dimasukkan dalam kotak khususselanjutnya dicatat oleh tuan rumah sendiri (setelah acara selesai) dibuku yang sama yang digunakan tukang catet beras. (3) Setelah itu barulah tamu menemui tuan rumah, lalu (4) menyantap hidangan di prasmanan yang sudah disediakan. Terakhir (5) kembali ke tukang catet beras untuk mengambil karung/ceting yang mereka tinggal untuk diisi dengan berkat berupa nasi dan lauk pauk yang sama yang dihidangkan diprasmanan acara tersebut.

*pajengan: orang yang bantu-bantu dalam sebuah acara hajatan 


Pasti semua orang dikampung saya yang pernah hajatan punya buku besar database kondangan yang isinya daftar orang-orang yang kondangan ke mereka. Pada umumnya database tersebut berisi (1) nama suami dan istri sekaligus (karena ada yang namanya sama, makanya dibedakan dengan mencantumkan nama pasangannya), (2) alamat (hanya blok/gang/RT rumah), (3) jumlah beras dan  (4) jumlah uang yang dibawa saat kondangan. 

Kok saya tau ? Karena saya sering disuruh mamah ngubek-ngubek database kondangannya T.T

Buku database ini ditulis manual, gak ada format baku dan kadang 1 buku untuk 1 acara bisa ditulis oleh beberapa pajengan. Alhasil, pas nyari nama seseorang, pusingnya bukan main. Satu buku isinya bisa ratusan bahkan seribuan orang dengan tulisan yang kadang susah dibaca huhu. Bayanginnnnnn!!!

Database tersebut sangat berguna ketika ada undangan yang datang kerumah. Jadi pas ada undangan ke sebuah acara, mereka akan nyari secara manual nama si empunya hajat (yang ngundang) di database yang mereka punya.

Kalo ada namanya di database tersebut, berarti HARUS kondangan sejumlah tersebut. Dengan catatan sudah memperhitungkan jumlah anak yang dimiliki si empunya hajat. Makanya orang dikampung saya sebagian besar hapal anggota keluarga orang lain. si anu punya anak sekian, si anu anaknya udah berada diusia menikah, si anu anaknya mau disunat, si anu punya sodara sekian dst.

Kalo namanya gak ada database tersebut, berarti hukumnya sunnah untuk kondangan. Boleh datang boleh enggak.


BACA JUGA : Cuma di Kampung : Rame-rame Dimanapun Kemanapun


Bagaimana jika saat diundang, ternyata lagi gak punya uang dan beras sejumlah tersebut atau gak hadir atau nominalnya kurang ?

Jawabannya adalah siap-siap DITAGIH sehari setelah acara tersebut dan penagihan seperti itu adalah sebuah hal yang memalukan untuk orang di kampung saya. Pernah suatu ketika, orang tua saya lupa kondangan ke orang yang ada di database kondangan mereka karena sedang diluar kota. Maka orang tua saya mau gak mau harus minta tolong sama sodara untuk di-kondangin dulu biar gak ada drama tagih-menagih tersebut.

Karena proses penulisan daftar kondangan yang masih dilakukan secara manual, maka tingkat human error-nya sangat tinggi. Saya pernah mendengar ada tetangga yang sampe musuhan gara-gara kurang kondangannya. 

Si A ngaku kondangan ke si B sejumlah beras 1 kwintal, tapi si B merasa si A kondangan cuma 90 Kg jadi pas si A punya acara si B cuma kondangan 90 Kg aja. Si A gak terima... datang lah si A menagih kerumah si B. Lalu berantem lah mereka dan musuhan Berbulan-bulan lamanya ckckc

Saya juga heran dengan kebiasaan seperti ini dan saya gak tau gimana asal usulnya sampai tercipta  dan mendarah daging kebiasaan seperti ini soalnya orang tua saya juga kalo ditanya hal ini pasti gak bisa jawab wkwkwk.

Dalam pandangan saya, kebiasaan seperti ini ada plus dan minusnya.

♦️Sebagai ajang investasi jangka panjang

Misalnya kita punya 2 orang anak perempuan yang masih masih 10 tahun. Anggaplah mereka menikah 10 dan 15 tahun kemudian. Nah dari sekarang kita udah "menanam benih" dengan rajin kondangan kesana-sini. Sehingga pada saat nanti kita menikahkan mereka, seenggaknya modal yang kita keluarkan untuk bikin acara pernikahan bisa balik modal lah. Dengan catatan orangnya cermat dalam berhitung loh yaaa... karena gak jarang ada juga yang malah rugi karena terlalu "royal" bikin sebuah hajatan. Maksudnya bikin acara yang wah padahal dirinya males kondangan ke orang lain.

♦️Diperoleh keuntungan dari selisih harga jual-beli beras pada saat tersebut

Soalnya setelah hajatan biasanya banyak tengkulak yang datang dan nawarin untuk beli beras tersebut. Siapa yang nawarin dengan harga yang tertinggi, dia lah yang berhak membeli beras tersebut.

♦️Mempererat silaturahmi

Dengan makin sering kondangan, otomatis makin sering ketemu sama tetangga-tetangga.

Namun sayangnya minusnya adalah... 
🔴Berasa kurangnya ketulusan pada saat kondangan 

Terutama saat memberikan beras/uang. Karena adanya harapan "dibalas" dengan hal yang setimpal.

🔴Nambah-nambahin drama kehidupan bertetangga

Malesin banget deh kalo udah ada masalah tagih menagih soal kondangan tuh.


Ohiya perlu dicatat, kebiasaan tersebut hanya berlaku untuk internal orang-orang dikampung saya dan sekitarnya aja ya. Jadi kalo ada orang  luar yang kondangan ke salah satu warga kampung saya, maka hukum tagih-menagih itu tidak berlaku. Seenggaknya kalo dikeluarga besar saya sih gitu heheh karena menganggap udah berbeda adat kebiasaan.


Sekian dulu tulisan saya hari ini.
Semoga menambah pengetahun mengenai kehidupan kampung a la saya.


"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"

Wassalamu'alaikum and see ya~
💗Salam hangat dan have a good day💗

9 comments:

  1. ini bener banget deh serius! aku udah langsung terjun ke desa-desa waktu tugas survei kuliah dulu, pengeluaran sosial masyarakat alias hajatan/syukuran/acara lainnya lebih banyak dibandingkan pengeluaran sehari-hari. Bahkan kalau bisa itu yang didahulukan dan diusahakan. Udah jadi kebiasaan masyarakat desa sepertinya yaa untuk membangun silaturahmi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya betul. Konsep pengeluaran sosial masyarakat kaya gitu banyak ternyata ya... Saya kira cuma ditempat saya aja yang begitu. Mungkin dasarnya adalah gotong royong gitu kali ya mbak

      Delete
  2. Ini memang sudah tradisi orang dikampung, soalnya di kampung saya juga begitu mbak.

    Memang banyak plus minusnya. Plusnya ya itu jadi mempererat tali silaturahmi juga bisa buat investasi, kan beras lama lama harganya naik, tapi minusnya jadi kurang tulus dalam memberi karena mengharapkan dibalas lagi.

    Dulu saya pernah mau sedikitnya mengubah tradisi itu, jadi kalo kondangan seikhlasnya saja, ngga mengharapkan dibalikin. Namanya seikhlasnya ya agak sedikit ya mbak, tapi katanya jadi omongan. Ih si agus pelit.😂😂😂

    ReplyDelete
  3. Database kondangan, menarik sekali. Di lingkungan saya sih jarang menemukan tradisi kaya gini, paling malam sebelumnya hajatan tetangga pada datang buat bantu masak².

    ReplyDelete
  4. Di kampung saya juga kondangan kayak utang gitu mbk. Tapi untungnya nggak ada drama tagih menagih. Kalau yang sono nggak kondangan ke sini padahal sini udah kondangan ke sono, ya udah, bukan rejeki mungki. Walaupun sebenernya sebel juga....
    Yang nggak enaknya itu, kalau yang hajatan bareng-bareng, bener-bener kayak nguras dompet, kerja tiap hari uangnya lari ke kondangan semua😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ternyata sudah mewabah ya kalo kondangan di anggap utangan. Di daerah aku merantau yaitu Banten juga sama. kalo kondangan harus dibalikin.

      Delete
  5. Ini juga terjadi di kampung nenekku, aku sampe heran saat tamu yg ngamplop namanya di tulis dikertas dan jumlah isi amplopnya ditulis juga 😅
    Kalo sampe nagih kyanya ngga deh, mungkin kesadaran masing2 aja karna itu dirasa sebagai hutang yg harus dibayar

    ReplyDelete
  6. Ini buener buanget, Mbak Nik. Di daerahku juga gitu sih. Tapi cuma dalam bentuk uang. Kalaupun baliknya nominalnya lebih kecil, gak sampai ditagih juga. Tapi cuma disinisin dan dibuat bahan pergunjingan. Walaupun begitu sama-sama gak enak juga konsekuensinya, sama-sama memutus tali silaturahmi.😂

    ReplyDelete
  7. Saya termasuk orang yang mikir, kalau ngasih ya semampunya, nggak ngasih juga nggak apa-apa. sebagai gantinya, saya juga nggak berharap dikasih. Orangtua saya yang mengajarkan begitu. makanya, saya kaget pas tahu di beberapa daerah ada istilah hajatan adalah investasi hahaha. Di lingkungan saya juga ada yang beranggapan begitu - nanti harus balik lagi kalau ngasih, meskipun tidak segamblang di kampung-kampung.

    tapi, bagusnya ya, semua orang jadi tahu satu sama lain. kekerabatannya lebih terasa. daripada bertamu, setiap kondangan benar-benar terasa jadi hajatan masyarakat. meskipun imbasnya jauh lebih repot hahaha.

    ReplyDelete

Hi~ Terima Kasih Sudah Mampir ^^
Silakan tinggalkan komentar supaya saya bisa melakukan kunjungan balik :)
Semoga tulisan saya membawa manfaat untuk yang baca. Aamiin